Saya ingat sekali malam itu, pertengahan 2017. Saya duduk di depan laptop, kopi sudah dingin, dan mata saya merah menatap layar. Di satu tab, portofolio saham saya isinya blue chip yang saya kumpulkan susah payah naik 1,2% hari itu. Rasanya? Tenang. Seperti menanam pohon mangga. Saya tahu buahnya akan ada, tapi butuh waktu, butuh disiram.
Lalu saya klik tab sebelahnya. Sebuah exchange crypto. Aset yang baru saya beli tiga minggu lalu pakai "uang nekat" (sisa uang jajan yang seharusnya saya tabung) sedang hijau terang: +45%. Dalam satu hari. Jantung saya berdebar kencang. Ini bukan menanam pohon, ini rasanya seperti menemukan harta karun di halaman belakang.
Malam itu saya tidak bisa tidur. Emosi saya terbelah. Satu sisi otak saya bilang, "Ini gila, tidak nyata, pasti jebakan." Sisi lain berteriak, "Jual semua sahammu, pindahkan ke sini!" Saya kebingungan, serakah, sekaligus takut setengah mati. Saya yakin, perasaan campur aduk itulah yang mungkin sedang anda rasakan sekarang saat melihat dua dunia ini: saham yang kokoh dan crypto yang... liar.
Jurnal Si Impulsif: Dari "All-In" sampai "Wait a Minute"
Dulu, saya adalah kapten tim impulsif. Melihat saldo, ada sisa sedikit, langsung "beli apa ya?" Pola pikir saya sederhana: cari yang paling cepat naik. Tentu saja, crypto adalah jawabannya. Saya masuk, tentu saja di saat hype tertinggi, dan merasakan euforia "cuan" kertas yang luar biasa. Saya merasa jadi jenius finansial.
Lalu bear market pertama saya datang.
Portofolio saya yang tadinya hijau menyala, mendadak merah darah. Turun 50%, lalu 70%, lalu 80%. Saya panik. Saya cut loss di harga terendah, persis di titik kapitulasi, sambil menyumpahi seluruh dunia. Uang saya hilang. Di saat yang sama, saham blue chip yang saya cemooh "lambat" itu? Oh, dia turun juga, mungkin 15% di tengah guncangan pasar, tapi dia tetap membagikan dividen.
Baca Juga:
Saya kesal sekali. Kesal pada crypto, tapi lebih kesal pada diri sendiri. Saya sadar, saya tidak berinvestasi. Saya berjudi dengan mata tertutup. Saya memperlakukan instrumen yang berbeda dengan cara yang sama, mengharapkan hasil yang instan.
Crypto Itu "Obeng" vs Saham Itu "Palu"
Kesalahan terbesar saya adalah menganggap mereka bersaing di arena yang sama. Saya ingin tahu "mana yang terbaik", padahal pertanyaannya salah. Seharusnya, "mana yang saya butuhkan saat ini?"
Setelah merenung (dan dompet kempes), saya mulai melihatnya secara berbeda. Ini bukan soal mana yang lebih baik, tapi soal fungsi.
Bayangkan anda sedang membangun rumah. Apakah palu lebih baik dari obeng? Tentu tidak. Anda butuh palu untuk memaku pondasi dan kerangka. Anda butuh obeng untuk memasang engsel pintu dan sakelar lampu.
Saham adalah "Palu" Saya
Saham, terutama blue chip atau reksa dana indeks, adalah pondasi saya. Itu "palu" yang saya gunakan untuk membangun kerangka kekayaan. Saat saya membeli saham, saya membeli kepemilikan di bisnis nyata. Bisnis yang punya pabrik, punya karyawan, menjual produk (entah itu mi instan, layanan bank, atau data seluler).
Pertumbuhannya mungkin tidak fantastis dalam semalam. Seperti palu, kerjanya terlihat membosankan, tapi stabil dan kuat. Tujuannya jelas: mengalahkan inflasi, menumbuhkan modal secara jangka panjang (5-10-20 tahun), dan di beberapa kasus, memberi saya "gaji" pasif lewat dividen. Emosi saya saat memegang saham sekarang? Tenang. Saya percaya pada bisnisnya, bukan pada chart harian.
Crypto adalah "Obeng" (yang Canggih)
Crypto, di sisi lain, adalah "obeng" canggih saya. Bahkan mungkin bor listrik nirkabel. Ini adalah teknologi. Saat saya membeli Bitcoin atau Ethereum, saya tidak membeli perusahaan. Saya membeli bagian dari sebuah jaringan, sebuah teknologi desentralisasi, sebuah ideologi tentang masa depan keuangan.
Potensinya? Jelas luar biasa. Teknologi ini bisa mengubah cara kita bertransaksi, cara kita menyimpan data, cara kita berkesenian (NFT). Tapi risikonya? Sama besarnya. Volatilitasnya brutal. Obeng ini bisa lepas kontrol, merusak sekrup, atau bahkan melukai tangan saya jika tidak dipegang dengan benar. Saya menggunakannya untuk bagian "hiasan" portofolio saya, bagian spekulatif yang saya siapkan untuk hilang.
"Saham adalah investasi pada 'nilai' yang ada hari ini. Crypto adalah taruhan pada 'potensi' nilai di masa depan."
Saya tidak lagi mempertaruhkan uang dapur saya di sini. Saya hanya memakai "uang main" yang saya rela kehilangan.
Babak Baru 2025: Crypto Pindah Rumah ke OJK
Dulu, salah satu alasan saya takut pada crypto adalah legalitasnya yang abu-abu. Rasanya seperti investasi di "wild west". Tapi lanskap tahun 2025 di Indonesia mengubah segalanya.
Ini adalah pergeseran terbesar: mulai Januari 2025, pengawasan aset kripto resmi berpindah dari Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini langkah besar. Crypto tidak lagi dianggap sekadar "komoditas" seperti CPO atau kopi, tapi diakui sebagai "Aset Keuangan Digital" (Pajakku, 2025). OJK bahkan langsung tancap gas mengadakan "Bulan Literasi Kripto" pada Februari 2025, sinyal bahwa mereka serius mengedukasi sekaligus melindungi.
Perpindahan ini sangat masuk akal jika kita melihat angkanya. Ini bagian yang membuat saya terkejut. Berdasarkan data terbaru, jumlah investor crypto aktif di Indonesia per Agustus 2025 telah menembus 18,08 juta pengguna (Kompas Money, 2025). Sebagai perbandingan, jumlah total investor pasar modal (saham, reksa dana, obligasi) pada periode yang sama adalah 18,01 juta (KSEI, 2025).
Ya, anda tidak salah baca. Jumlah orang yang terekspos crypto di Indonesia kini sedikit melampaui jumlah investor di pasar modal. Gila, bukan?
Namun, "rasa"-nya tetap beda. Ingat guncangan pasar pada Maret 2025? IHSG (indeks saham kita) anjlok cukup dalam hingga memicu trading halt, yang membuat banyak investor saham panik. Di saat yang sama, pasar crypto juga jungkir balik tapi penurunan harian 10% di crypto sudah dianggap "biasa saja" (Pasardana, 2025). Ini menunjukkan betapa berbedanya ekspektasi risiko di kedua pasar.
Menariknya, meski jumlah investor ritel kita meledak, di panggung global ceritanya sedikit berbeda. Laporan Chainalysis Global Crypto Adoption Index 2025 menempatkan Indonesia di peringkat ke-7, turun dari posisi ke-3 tahun sebelumnya. Penyebabnya? Laporan tahun ini memberi bobot lebih besar pada adopsi institusional (seperti ETF Bitcoin di AS), di mana Indonesia memang masih tertinggal (Pasardana, 2025). Ini menegaskan apa yang saya rasakan: di Indonesia, crypto masih didominasi oleh ritel seperti saya dan anda.
Jadi, Pilih yang Mana?
Jika anda datang ke saya sebagai teman dan bertanya, "Saham atau crypto, mana yang terbaik?"
Saya akan balik bertanya, "Anda mau membangun apa?"
Jika anda ingin membangun pondasi yang kuat untuk masa tua, untuk dana pendidikan anak, untuk membeli rumah dalam 10 tahun, jawaban saya jelas: mulailah dengan "palu". Belajar tentang saham. Beli reksa dana indeks yang mencerminkan pasar (seperti IHSG) secara rutin. Beli saham perusahaan besar yang produknya anda pakai setiap hari. Lakukan dengan sabar. Ini membosankan, tapi ini yang akan membuat anda tidur nyenyak.
Jika anda sudah punya pondasi itu, sudah punya dana darurat, dan punya "uang lebih" yang anda siap kehilangan... barulah anda boleh melirik "obeng" canggih itu. Pelajari teknologinya, bukan hanya harganya. Alokasikan porsi kecil saja dari portofolio anda (mungkin 1% - 5%?). Siapkan mental anda untuk melihat uang itu naik 100% atau hilang 90% dalam semalam.
Disclaimer singkat dari saya: Ini bukan saran keuangan. Ini hanya catatan perjalanan saya yang berantakan. Tolong lakukan riset anda sendiri dan sesuaikan dengan tujuan hidup anda.
Menemukan Kedamaian di Tengah Badai
Saya tidak lagi memeriksa portofolio saya setiap lima menit. Saya tidak lagi merasa harus memilih "satu pemenang". Dompet saya sekarang berisi keduanya.
Saya punya "pohon mangga" (saham) yang saya sirami setiap bulan lewat investasi rutin, yang saya tahu akan menopang saya di masa depan. Saya juga punya "tanaman cabai" (crypto) di pot kecil di sudut taman, yang sesekali memberi kejutan pedas dan sensasi, tapi jika gagal panen pun, saya tidak akan kelaparan.
Pada akhirnya, investasi terbaik adalah yang membuat anda bisa tidur di malam hari. Bukan yang membuat anda terjaga sampai jam 3 pagi menatap grafik yang naik-turun. Kedamaian pikiran adalah "cuan" yang sering kita lupakan.
