Malam minggu. gue baru aja cek saldo di mobile banking. Dulu, di tanggal segini, angkanya pasti sudah menyedihkan. Layar HP rasanya panas, bikin panik mikirin sisa hari sampai gajian.
Lucu ya, dulu gue mikir semua aplikasi fintech di HP itu penolong. Satu klik, kopi datang. Satu geser, barang impian bisa dicicil. Kenyataannya, cuma lagi gali lubang. Cepat, efisien, dan pakai antarmuka yang cantik.
Godaan yang Terlalu Mudah Bernama 'Kemudahan'
Gue ingat banget masa-masa di mana punya tiga aplikasi paylater berbeda. Alasannya? "Jaga-jaga". Padahal, "jaga-jaga" itu kode buat "impulsif tapi bayarnya nanti".
Teknologi finansial itu rasanya kayak teman yang selalu bilang "iya" ke semua keinginan kita. Nggak ada friksi. Nggak ada jeda buat mikir "ini beneran butuh atau cuma pengin?". Keamanan fintech pembayaran yang makin canggih pakai sidik jari, pengenalan wajah, atau PIN cepat malah bikin proses "checkout" jadi kayak reflek, bukan keputusan sadar.
Gue nggak menyalahkan teknologinya. gue menyalahkan diri sendiri yang belum siap mental tapi sudah dikasih superpower.
Saat 'Inklusi Keuangan' Jadi Bumerang Personal
Sering banget kita dengar istilah keren "inklusi keuangan". Katanya bagus, semua orang jadi bisa akses layanan bank, bisa pinjam modal, bisa nabung. Tapi buat gue yang dulu, "inklusi" itu artinya akses lebih gampang ke utang.
Baca Juga:
Gue nggak pernah sampai terjerat fintech lending yang ilegal, tapi nyaris. Godaannya besar. Iklannya ada di mana-mana. Notifikasinya muncul pas kita lagi suntuk.
Rasanya risiko teknologi finansial itu bukan cuma soal data kita dicuri atau akun di-hack. Risiko terbesarnya ada di dalam kepala kita sendiri. Soal jiwa kita yang "dicuri" sama siklus gali-tutup lubang yang nggak ada habisnya. Dampak fintech terhadap keuangan rumah tangga (atau anak kos, dalam kasus waktu itu) itu nyata. Gampang banget tergelincir.
Titik Balik: Berhenti Jadi 'Manajer Keuangan' yang Kaku
Gue capek. Capek panik tiap tanggal 20. Capek ngerasa bersalah tiap habis beli sesuatu.
Gue coba pakai aplikasi budgeting yang super detail. Yang minta masukin bon kopi, catat ongkos parkir, kasih kategori buat pembelian permen. Hasilnya? Gue bertahan empat hari. Rasanya kayak menghukum diri sendiri. Rasanya lebih stres daripada pas bokek.
Anehnya, titik baliknya justru pas hapus semua aplikasi budgeting kaku itu. Gue berhenti, Cuma duduk dan mikir, "Gue maunya hidup rasanya kayak gimana?". Gue nggak mau hidup penuh perhitungan Excel, tapi juga nggak mau hidup penuh ketakutan dikejar tagihan.
Metode "Bayar Diri Sendiri Dulu" Versi Malas tapi Efektif
Jadi, gue bikin sistem sendiri. Sekarang, teknologi finansial jadi asisten, bukan majikan.
Pas gajian masuk, gue nggak langsung foya-foya. Hal pertama yang gue lakukan adalah "sembunyikan" sebagian uang dari diri sendiri. Gue langsung transfer ke rekening bank digital lain yang kartu ATM-nya tinggal di rumah. Gue kunci sebagian di instrumen investasi kecil-kecilan yang ada di aplikasi fintech lain yang penting, proses ambilnya sengaja dibikin susah, minimal butuh satu hari kerja.
Sisanya? Yang ada di rekening utama? Itu uang "main".
Ajaibnya, karena gue tahu "diri masa depan" sudah aman, "diri masa kini" jadi lebih santai. Gue nggak lagi ngos-ngosan ngelacak tiap pengeluaran kecil harian. Kalau mau kopi susu gula aren? Beli. Nggak ada rasa bersalah. Pengeluaran itu nggak lagi jadi dosa, tapi jadi bagian hidup yang memang boleh dinikmati.
Sekarang, balik lagi ke malam minggu ini. Lihat saldo. Angkanya nggak fantastis, tapi cukup. Yang lebih penting, rasanya... tenang. Nggak ada tagihan paylater menggunung yang nunggu di awal bulan.
Gue sadar, fintech itu alat. Kayak pisau. Bisa buat masak, bisa buat lukain diri.
Dan ngatur uang itu ternyata bukan soal menahan diri sampai sengsara. Bukan soal spreadsheet yang rumit. Ini soal jujur sama diri sendiri, dan ngasih ruang buat kita bernapas... tanpa rasa bersalah. Itu aja udah mewah banget.
